(http://prasasto.blogspot.com)
"Saat saya bekerja di IMF (Dana Moneter Internasional), kalau kita ragu soal norma-norma konflik kepentingan, kita bisa bertanya. Hasilnya adalah keputusan yang baik. Sehingga bekerja di lembaga seperti itu menjadi sangat mudah. Namun saat kembali ke Indonesia, saya sering menghadiri rapat tentang suatu kebijakan yang akan berimplikasi pada anggaran, baik belanja atau insentif, ternyata pihak yang ikut dalam kebijakan itu akan mendapatkan keuntungannya. Tidak ada rasa risih," ujar Seri Mulyani saat berbicara dalam 'Kuliah Umum tentang Kebijakan Publik dan Etika Publik' di Jakarta, Selasa (18/5/2010) malam.
Sri Mulyani menuturkan, kalau kebetulan yang menjadi pejabat itu berlatar belakang pengusaha, dia bisa melepaskan bisnisnya. Namun, tetap saja ada banyak keluarganya yang menjalankan bisnis dia. "Lalu ketika dia membuat kebijakan, saya dibuat terpana atau bengong. Ada keputusan yang dibuat, lalu esok harinya yang mengimpor barang (atas dasar keputusan itu) adalah perusahaannya. Ini adalah suatu hal yang merupakan penyakit di zaman Orde Baru, namun dulu dibuat tertutup. Sekarang malah dibuat seolah telah dibuat dengan keputusan demokratis dan dengan check and balance, namun sebenarnya tanpa etika," ujarnya.
Sri Mulyani mengatakan, ia sering kali meminta keluar dari ruang rapat pejabat publik yang kebetulan menjadi komisaris pada perusahaan yang sedang dibahas dalam rapat tersebut. Sikap tegas itu justru dibalas dengan cibiran. "Ada satu saat saya membuat rapat, dan rapat ini jelas berhubungan dengan perusahaan. Kebetulan yang diundang adalah beberapa komisaris perusahaan itu . Saya minta yang terkait dan berafiliasi dengan yang dibicarakan silahkan keluar. Mereka malah bilang, Mba Ani jangan sadis begitu," ujarnya.
Situasi kultur politik dan sikap pejabat publik yang seperti itu membuat Sri Mulyani resah. Apalagi proses politik hingga terpilihnya pimpinan daerah atau pimpinan tertinggi republik di awal oleh proses yang sangat menguras biaya sangat tinggi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi pejabat publik di daerah pun membutuhkan biaya tinggi.
"Tentu ini menjadi keresahan bahwa dalam ruang publik, masyarakat yang seharusnya menjadi ultimate share holder kekuasaaan, yang memilih CEO di Republik ini, dan memilih yang dia minta untuk mengawasi CEO-nya. Harus dihadapi kenyataan bahwa pemilihan itu di awal di hulunya dengan proses yang membutuhkan biaya yang luar biasa. Termasuk Presiden. Bahkan kalkulasi return on investment pun tidak masuk," tuturnya.
Laporan wartawan KOMPAS Orin Basuki
http://www1.kompas.com/read/xml/2010/05/18/22261615/smi.pejabat.beretika.masih.langka Selengkapnya.....