He Is Dead (13.10 WIB 27 Januari 2008)

Hari ini Pak RTku beri instruksi kerja bhakti gotong-royong bersihkan kampung.
Setelah sepagian tadi berkutat dengan rumput dan sampah di lingkunganku, giliran berikutnya nonton TV.
Soeharto tutup usia.


16 channel TV di Indonesia yang tersedia melalui satelit semuanya memberikan reportase tentang jalannya peristiwa di Indonesia ini.
Secara khusus aku tidak punya pengalaman apapun dengan Soeharto. Setidaknya cuma ada pernik kecil daam hidup yang mengisi kenangan dalam memori di otakku : berdiri di tepi jalan Basuki Rahmad tahun 70an sambil mengibar-kibarkan bendera merah putih bersama teman-teman SD lainnya ketika Soeharto melintas. Jadi rakyat yang nonton beliau waktu peresmian pameran 50 tahun Indonesia Merdeka. Dan saat Bulan Bhakti LKMD di Tenggarong tahun 90an.
Aku tidak pernah merasa jadi korban Orde Baru, setidaknya begitu menurut ingatan dan perasaanku. Kihidupan sekarang karena tonggak Orde Baru, begitu juga rasanya seluruh penguasa di Bumi Indonesia sekarang ini karena mendapat berkah dari Orde Baru.
Kecuali bagi mereka-mereka yang mati ditembak, dibuang, dipenjara, dianiaya. Dan itu terbukti karena Orde Baru.
Karena tidak ada kenangan khusus, sehingga aku cuma merasa bahwa Suharto adalah pemimpin hebat yang mampu berkuasa 32 tahun dan punya pengikut-pengikut yang luar biasa setianya. Jembatan Mahakam di Kota Samarinda itu salah satu hasil pembangunan dimasanya. Yang tidak seekor manusia Samarindapun yang tidak pernah melewati dan merasakan manfaatnya. Dan Di Kota Balikpapan ada Jalan Hendriawan Sie. Korban peristiwa Trisakti. Kalau aku ke Jakarta maka Bandara Soekarno-Hatta tujuanku. Kalau aku ke kampung istriku dan ketanah leluhurku, Terminal Bungurasih andalanku. Andai saja ada pilihan yang lain....
Nyatanya semua fasilitas yang dinikmati semua orang itu hingga saat ini karena Si Bapak Pembangunan.
Mohon ma'af, aku mengungkapkan apa yang aku rasakan.
Sesungguhnya aku tidak punya pretensi apa-apa. Bahkan saat nonton Siaran Langsung peristiwa wafatnya pun aku cuma mencari wajah putra pertamanya Sigit Harjojudanto.

Sebagai seorang Muslim, toh hanya 3 hal penting yang akan meringankan manusia saat menghadap Sang Khalik :
1. Anak yang shaleh
2. Amalan semasa hidup
3. Ilmu yang bermanfaat

Selamat kembali ke Hadliratnya, Bos.
Nanti kalau sudah waktunya aku susul.

Selengkapnya.....

Tahu di tengah hutan


Bicarakan kedelai lagi? ah, bosan... wong cuma cara impornya saja yang diperbaiki.
Ini tentang perjalanan di poros Balikpapan-Samarinda. Setidaknya di kilometer 50, disitu sebuah rumah makan berdiri saling berhadapan berseberangan jalan. Rumah Makan TAHU SUMEDANG.
Entah sudah berapa kali aku mampir. Saban ke Samarinda atau sebaliknya aku mampir, sekedar beli Tahu Sumedang, arem-arem, nanas goreng, dadar jagung goreng, tempe goreng... Atau malah cuma numpang buang air kecil saja. Setiap mampir, tukang parkirnya sigap memberi aba-aba di tempat parkir yang cukup untuk menampung 50 buah mobil dan itupun sering kelihatan penuh.


Iseng-iseng, sambil menunggu antrian beli Tahu Sumedang, penah kucoba menghitung tingkat kedatangan dan kepergian mobil yang singgah. Setidaknya tiap 10 menit ada mobil yang mampir dan ada mobil yang pergi. Dalam satu mobil yang rata-rata berisi lebih dari 1 orang itu kalo tidak mampir makan, ya sekedar beli Tahu Sumedang tadi.Sepertinya rumah makan ini sedang menjalankan bisnis yang sukses..... Dan modalnya, daya tariknya, ya, tahu itu tadi.

Hanya jual....... tahu di tengah hutan.

Rumah makan ini ada di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Bukan main. Kabupaten kaya dengan PAD besar yang ditunjang warga wirausahawan kreatif gini pasti kombinasi yang luar biasa. Mestinya begitu.
Selepas dari Rumah Makan Tahu Sumedang ke arah Samarinda, setidaknya aku menemui 3 ruas jalan yang oleh penduduk sekitarnya diberi penghambat kecepatan yang dikibar-kibarkan berupa jala yang dibuat kerucut dengan tepi diberi kawat melingkar. Itu alat penangkap uang. Penduduk sekitar situ rupanya sedang sibuk membangun tempat ibadah. Butuh dana yang lumayan besar rupanya.
Bukan main. Kabupaten kaya dengan PAD besar yang ditunjang warga yang semangat beribadahnya tinggi gini pasti kombinasi yang luar biasa. Mestinya begitu.
Atau sesungguhnya yang terjadi malah bukan begitu?
Jangan-jangan Rumah Makan tadi hanya milik seorang pendatang yang punya semangat juang luar biasa dan pandai membaca peluang. Sebab, kalau dilihat karyawan yang bekerja disitu kelihatannya "bukan wajah orang sini" dan logatnya-pun bukan logat kebanyakan orang-orang disini. Apalagi menu jajanannya....... apalagi jenis bahan bakunya......
Jangan-jangan penduduk yang sibuk membangun rumah ibadah dengan mengharap sumbangan dari pengguna jalan itu adalah penduduk yang hanya tidak tahu harus kemana berharap dukungan dana untuk membangun rumah ibadahnya. Sebab kalau tahu kan tidak harus dengan bertaruh nyawa ditengah jalan. Apalagi kalau Pemkabnya tahu..... apalagi kalau pejabat Pemkab yang ngurusi masalah-masalah sosial tahu......
Bukan main. Kabupaten kaya dengan PAD besar yang ditunjang dengan pejabat yang peka terhadap kebutuhan rakyatnya pasti kombinasi yang luar biasa. Mestinya begitu.
Atau nyatanya semua tidak begitu?
Pemkabnya tidak tahu kalau pejabatnya tidak tahu bahwa warganya tidak tahu dan terpaksa bertaruh nyawa untuk membangun rumah ibadah karena tidak tahu bahwa seharusnya ada dana sosial yang tersedia di kas Pemkab yang bisa untuk membantu pembangunan rumah ibadah mereka.

Mungkin, memang sulit menjadi orang yang..... tahu di tengah hutan....

Selengkapnya.....

Mental Tempe Tanpa Kedele

Dulu (sekali - karena sudah berlalu lebih dari sepuluh tahun), pernah aku punya banyak waktu untuk mau-maunya membuat sedikit tulisan tentang sang tempe. Barang ini walaupun nyatanya punya kandungan protein yang tidak sebaik protein hewani tetapi perannya dalam kehidupan turut memberi arti dalam memperbaiki gizi kebanyakan masyarakat. Komoditi ini sering sangat diperlukan pada musim-musim tertentu saat ikan sebagai sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat pesisir sedang sulit diperoleh di pasar akibat laut yang sedang tidak bersahabat.
Barang yang metode produksinya sudah dipatentkan di Amerika sejak tahun 1960an ini (http://Enda.goblogmedia.com) diproduksi dengan menggunakan sumber energi kayu dan atau minyak tanah. Dari dulu sampai sekarang masih begitu. Malah sekarang sumber kayu bakarnya susah dicari, minyak tanahnya juga mau dilenyapkan dari dapur para rakyat.


Cara bikin produk yang 66% dari total kebutuhan bahan bakunya diperoleh dari impor ini (tribun kaltim, selasa 15 Jan 08) juga gak kalah runyam. untuk 1 ton kedele yang diproses ternyata mampu menghasilkan limbah sangat banyak yaitu sebesar 3.000-5.000 liter limbah cair (http://www.depperin.go.id/asp/pelatihan_ikm/cleanerprod/cleaner-production.pdf).
Maka, rasanya aneh saja kalau dari apa yang disampaikan Dirjen Tanaman Pangan Deptan yang kalau kusimpulkan artinya bahwa produksi kedele dalam negeri itu bergantung pada mekanisme pasar. Kalau bagi petani lebih untung tanam jagung, ngapain tanam kedele?
Aku ini korban MLM. Gara-gara penyakit gula, sekarang jadi salah satu konsumen yang rutin minum susu kedelai. Pakai susu kedele produk impor. Karena tidak tahu apakah memang ada susu kedele buatan Indonesia dengan kedele produksi hasil pertanian Indonesia. Sama persis dengan ketidaktahuanku apakah lebih penting bagi seorang Dirjen bicara mekanisme pasar kedele ketimbang mementingkan upaya peningkatan kualitas lahan pertanian kedele dan kualitas produksi hasil pertanian kedele. Urusan pasar kan sudah ada Menterinya sendiri. Urusan pengolahan pasca panen pun sudah ada Menterinya sendiri. Urusan produksi di lahan pertanian pun ternyata bagaimana terserah petaninya saja. Mau tanam jagung, padi, sawit, tebu. Terserah, lah, mana yang lebih menguntungkan. Biar kerjanya Deptan lebih ringan.
Di bumi Kalimantan Timur yang sektor pertaniannya bukan sektor utama ini, malah pelahap tahu - tempenya juga lumayan besar. Dijamin kedelenya adalah kedele impor. Bagi kebanyakan orang kaltim tidak masalah, karena biar harga kedele mahal, tempenya laku juga, yang penting tidak kena isu makanan yang mengandung formalin saja. Lantas apakah mereka para konsumen tempe di Kaltim juga masuk "The Have Not"?
Makan tempe itu kini masuk soal selera. Bukan lagi menu makanan utama. Kalau makan lalapan, ya cocoknya ada tempe. Kalo takut cholesterol, cobalah tempe.
Jadi, kenapa repot dengan kedele? serahkan saja ke mekanisme pasar. Mau pakai kedele impor atau tidak. Memangnya kenapa? Kalau harga tempe sudah nggak masuk akal. Ya, ganti saja menu makanannya.... ke Jengkol. Mau demo atau tidak. Salah sendiri tidak pandai membaca selera pasar. itu cuma 5.000 perajin tahu-tempe yang sial.
Besok besok mungkin soal perumahan pun bagaimana mekanisme pasar saja. Jual RSS harga Rumah Mewah, ya karena pasar. Toh, sudah ada pengalaman. Harga premium naik, pengguna kendaraan bermotor malah semakin cepat membengkak.
Jadi, kita ini negara industri apa negara agraris? Bukan dua-duanya. Karena mungkin mekanisme pasar menunjukkan lebih menguntungkan devisa dari TKI.
Kalau UNDP pada tahun 2006 mengeluarkan Human Development Index yang menyatakan trend kesejahteraan masyarakat kita hanya diurutan satu angka lebih tinggi ketimbang Vietnam yang baru merdeka tahun 70-an. Dibanding Malaysia yang diurutan 61, Negara kita ini diurutan ke 108. Apa peduli kita? Tidak usah pusing mau swasembada kedele atau impor kedele. Tiap pagi sarapan roti dan mie rebus dari tepung yang diimpor dari zaman dulu sampai sekarang toh tidak jadi masalah.
Maka, apakah sesungguhnya kita ini adalah bangsa bermental tempe tanpa kedele..?
Biarlah Pak Dirjen yang bicara.


Selengkapnya.....

Jabat Tangan Dengan SBY (apa hebatnya?)

Karena urusan tugaslah akhirnya aku harus menginjakkan kaki di Peninsula Island. Kedengarannya sebuah pulau asing di negeri entah dimana. Nyatanya itu hanyalah sebuah "gundukan kecil berkarang yang sedikit lebih besar dari Pulau Tukung di dekat Pelabuhan Semayang Balikpapan tetapi lebih kecil dari gundukan endapan lumpur di tengah alur Sungai Mahakam yang dinamai Pulau Kumala". Kalau dalam bahasa resmi kita namanya Pulau Besar di Nusa Dua-Bali (lihat monumet at nusa dua - Google Earth).
Kelihatannya keren. Dengan alasan menjadi penggembira pada parallel event di Conference of Parties 13 (COP-13) UNFCCC 2007 (atau sebut saja konvensi perubahan iklim) aku berada di suatu lingkungan elit yang didekatnya ada Hotel dengan tarif semalam yang sanggup buat nyicil mobil baru. Tetapi sesungguhnya yang terjadi tidak seperti yang mungkin terbayangkan. Untuk bisa masuk ke Nusa Dua saja "

setidaknya kita harus melalui pos pemeriksaan yang luar biasa, yang menurutku standar pemeriksaannya sedikit membuat rasa kebangsaanku tersinggung. Bagasi diperiksa, pintu dibuka, kolong mobil dikamera, akibatnya antrian memanjang. Ngalah-ngalahin kalo mau masuk plaza yang habis kena ancaman bom.



Mungkin prosedur ini hanya akibat penyelenggaraan UNFCCC saja. Paranoid karena bom bali? bisa jadi.
Lantas untuk bisa masuk ke Pulau Besar para tamu harus memakai wristband, semacam tanda pengenal dengan barcode yang dipasang melingkar di lengan. Beruntung aku dapat ID Card, jadi nggak perlu beli wristband harian yang harganya Rp.15.000,- atau wristband terusan yang harganya Rp.75.000,-
You see, this is my country. Tapi kudu bayar untuk nginjakkan kaki di tanah sendiri.
Urusan nginap lain lagi. Rakyat jelata dengan penghasilan seperti aku mana sanggup bayar hotel di Nusa Dua. Akhirnya aku pilih nginap bareng turis-turis kere di daerah Legian. Itu berarti setengah jam perjalanan bermobil ke tempat kegiatan. Maka setiap hari kalau aku berangkat dari penginapan menuju lokasi pasti melewati tempat yang dulu di bom sama Amrozi (masih hidup kok tuh orang....). Terima kasih Amrozi, karena obyek wisata di Bali bertambah lagi.





Kalau malam, di sekitar Legian masih mudah ketemu diskotek atau bar terbuka kelihatan dari tengah jalan yang penuh dengan bule joget. Bila larut malam di beberapa lorong-lorong gangnya sejumlah bule duduk dengan "guide" sampai pagi. Mungkin ini memang turis kelas kere.

OK. Back to topic.
Namanya saja Climate Change Conference. Jadi Cool Energy Exhibitionnya diset diruang terbuka dengan tenda tanpa AC !! Aku bukan bule-bule yang kulitnya berwarna - warni (bisa putih pucat kalo takut, bisa merah kalo marah, bisa biru kalo dibenjolin, bisa coklat karena kejemur, bisa abu-abu....) kulitku asli coklat seperti kebanyakan bangsa indonesia yang sehari-hari naik sepeda motor kepanasan. Walhasil, tambah gelaplah aku setelah seminggu barurusan dengan pulau tak berangin itu. Sumpah, acara itu tak seperti yang kubayangkan. Tidak ada delegasi negara lain yang nyelonong kesitu, Yang muncul cuma orang-orang penting lokalan. Termasuk Presidenku SBY.
Berhasil mem-foto beliau? seorang kawan bersusah payah untuk itu :



Salaman? kenapa tidak. Sekejap mucul perasaan betapa ternyata sangat mudahnya bersalaman dengan Presiden Republik ini. Terasa sedikit kasar telapak tangannya waktu kujabat. Mungkin dulu pernah pegang cangkul. Senyumnya masih kalah lebar dibandingkan dengan The Smiling General (Do'aku untuk beliau). Tapi senyumnya itu hangat. Aku merasa bahwa Presiden ini dekat dengan rakyatnya bila dibandingkan dengan The Smiling General. Setidaknya karena dulu dalam acara yang sejenis sekitar tahun 1995 aku pernah berada dalam jarak 10 meter dari The Smiling General dan belakangan setelah diberitahu teman, aku harus terima fakta bahwa aku ditempel terus oleh seorang intel. Mungkin karena tampangku yang konyol.
Tapi esoknya pikiranku terhadap Presiden itu berubah. Setelah sadar bahwa untuk bisa salaman, aku ternyata berada di tempat yang steril, sistem pengamanan yang berlapis, publik yang terkontrol..... Dan bule-bule yang nyelonong masuk ke lokasi acara (walau dia pake wristband) tetapi cuma pake CD doang!! well, you know ini tempat dimana patung disarungin, orang ditelanjangin.
Di hari-hari terakhir acara aku masih sempatkan untuk ber-turis ria ke pusat-pusat souvenir. Bangsa kita memang kreatif. Tanda ekonomi masyarakat terus bergeliat menyongsong Visit Indonesia Year 2008. Banyak cinderamata dan kerajinan yang dibuat. Ada yang unik, antik, cita rasa tinggi dan nyeleneh....


Barang legal yang dijual diseluruh pelosok bali. Selegal itu pula foto ini terpasang.
Sebuah kesan tersendiri dari perjalananku kali ini.
Seperti juga kesan seorang bule yang pernah singgah ke Bali....
check this out :
http://www.youtube.com/watch?v=q4j0Hg8eFsc

Begitu pula sampai hari ini rasa jabat tangan itu masih meninggalkan kesan. Mungkin kesan yang terus tersimpan sampai nanti saat masuk bilik TPS. Entahlah.

Selengkapnya.....

Lahirnya Kampoeng Net RT.53 di Balikpapan ( Membangun RT/RW Net )

Memikirkan cara agar bisa ber-internet dengan murah memang sebuah perjuangan.

Sempat tercetus ikut-ikutan komunitas grabber yang menggunakan DVB Card untuk grabbing ke satelit pake parabola. Tetapi rupanya perjuangan untuk mendapatkan DVB Card itu sendiri sudah luar biasa. Lantas entah kenapa ada ide (walaupun tidak orisinil) yang muncul dari seorang teman untuk membuat komunitas pengguna internet dengan menggunakan Telkom Speedy.

Pada tanggal 17 November 2007, dalam sebuah rembug Blok V (sebuah rembukan antar tetangga yang lebih besar dari Dasa Wisma, tetapi tidak sampai satu RT. Cukup satu Blok yaitu Blok V dengan jumlah KK 30 rumah) yang rutin kami lakukan sebulan sekali, rembukan ini biasanya untuk membahas kemajuan Blok V dan rencana-rencana pembangunan di Blok V, aku cetuskan ide untuk secara gotong-royong, urunan, iuran untuk mendirikan dan menjadi pengguna Telkom Speedy Unlimited di RT.53 kepada kawan-kawan tetangga ku yang ramah-ramah.



Rupanya gayung bersambut dan tetanggaku lebih bersemangat daripada aku sendiri. Seminggu sesudahnya dengan surat Edaran yang ditembuskan kepada Ketua RT.53, Ketua Blok ku keliling dari satu rumah ke rumah, door to door untuk menawarkan kesempatan menggunakan internet murah.

Pada pertemuan rembuk Blok V berikutnya di bulan Desember 2007 disimpulkan ada 13 calon pengguna internet bersama. Yang belakangan 2 orang diantaranya mengundurkan diri karena ditentang oleh ISTRI sendiri. Sebuah tantangan, memang.
Tetapi yang terjadi di forum rembug antar tetangga malam itu sebenarnya memang luar biasa. Secara spontan seorang diantaranya segera mendesak agar net RT segera diwujudkan. Itu dibarengi dengan menyerahkan Uang iuran sebesar Rp.300.000,- sebagai biaya instalasi dan administrasi ke Telkom yang sebelumnya sudah kami hitung bersama-sama. Seketika malam itu juga langsung terkumpul Rp.1.800.000,- hasil urunan 6 orang. Jika saja kawan-kawan tetanggaku bukan "Ordinary People" tentu ini jadi biasa saja. Tetapi sesungguhnya kami cuma kumpulan guru, penjaga sekolah, pekerja kontrakan, pegawai negeri bahkan pengojek.....

Modal dengkul itu lalu dibelikan kabel ethernet Belden Datatwist yang murah saja sebanyak satu roll ditambah satu HUB 8 terminal merk D-Link dan tang crimping. Lalu ada sumbangan HUB 12 terminal dan segulungan kabel bekas. Setelah sepakat saluran telepon rumahku yang jadi base, lalu kami menghubungi marketing Telkom Speedy dan bicara jujur apa adanya. Kami beruntung, oleh marketing Telkom dipasangkan modem ADSL merk Shiro, gratis. Sayang splitternya kurang hebat. Kalau ada telpon masuk, saluran internetnya kadang terganggu.



Kami memang beruntung berkali-kali. Seorang tetangga rupanya biasa bekerja memasang jaringan internet di Hotel-hotel. Urusan wiring.... eces ajah... panjat atap, panjat pohon, memaku, ngeset..... Terhitung dari tanggal 20 Desember 2007 sampai dengan tanggal 3 Januari 2008 kami menikmati masa uji coba, ah lumayan banyak yang bisa di up date. Lumayan besar yang bisa di download. hasil test menggunakan speed test dari www.sijiwae.net menunjukkan kecepatan koneksi bisa mencapai 340 kbps. Walaupun belakangan rata-rata cuma 200 an kbps, kami cukup puas.
Apakah perjuangan sudah berakhir? Ternyata baru saja dimulai. 2 tetangga ternyata komputernya tidak ada terminal ethernetnya. Rata-rata belum bisa mengoperasikan komputer, 2 orang termasuk Pak Ketua Blok komputernya sudah rusak!

OK, Bapaknya boleh gaptek, tapi tidak dengan anaknya.

Semangat 45 jugalah yang akhirnya kucoba buatkan website eh... webblog dengan nama http://www.kampoengnet53.blogspot.com.
Kami berencana pakai acara launching segala. Pakai presentasi ke tetangga segala, bikin terang jalan fikiran para tetangga tentang sisi positif dari Teknologi Informasi ini. Siapa tahu anggotanya nambah mencapi target 20 orang. Supaya iuran bisa lebih murah menjadi sekitar Rp.40.000,- perbulan perorang.. UNLIMITED..!!!
Karena itu webblog dibikin sederhana karena tujuannya memeberikan kesan manfaat yang terjangkau dengan kondisi masing-masing warga.

Kampoeng Net RT.53 memang jauh dari canggih ketimbang www.Kampoengcyber.com di Rungkut Asri Surabaya yang padat modal atau Komunitas www.rt-net-kapelima.com di Bandung yang padat sponsor atau seperti saran dan resep bikin rt/rw net di www.pc24.co.id yang berbau komersil. Komunitas Kampoeng Net RT.53 memang murni berniat melek teknologi. Jadi biar komputernya masih Pentium 2, Celeron, pakai Windows Me. Gak masalah. yang penting melek... melek.... dan melek....

Saat ini dengan 11 orang kami masih harus menanggung sekitar Rp.80.000,- per orang sebulannya. Masih kurang 9 orang. Dan kami masih terus bersemangat untuk mencapai target itu.

Ber internet berjam-jam? siapa takut...

Selengkapnya.....

Perilaku Jalanan

Sedikit cerita, gambar bicara.


Inilah sisi nyata kehidupan di jalan raya Kota Balikpapan.

Bukan gambar baru, memang.

Hanya yang begini menjadi begitu sering terlihat berkeliaran di jalan-jalan.

Dan kita merasa biasa saja.

Jadi, kalo liat angkot yang modis.. sopirnya bawa HP Nokia, Rokok Marlboro, bersandal hotel dan di dasboard pakai player dengan CD Canger...


Hingga yang berani proklamirkan diri bagaikan Jailangkung "Nobody call me to comes here = datang tak diundang, pergi tak diantar"

Atau yang over load.....

hingga berasap......


Jadi, setiap kali melintasi jalan di Balikpapan : hati-hatilah membaca di jalan raya.......!!




Selengkapnya.....

Asal Usul Tak Selalu Berarti Kampung Halaman




Lebaran 2007 lalu akhirnya aku bisa lihat kampung halaman tempat Bapakku melalui masa kecilnya. Sebuah kampung yang cukup memberikanku inspirasi tentang bagaimana menghargai hidup.

Rumah yang sudah tak berpenghuni dan hampir ambruk adalah bukti bahwa aku memiliki darah yang bersemayam di Dusun Sidowayah-Pamotan-Rembang Jawa Tengah ini.

Sebuah dusun yang memberikan kesan tandus dan gersang tempat leluhurku disemayamkan. Yang sangat menggugah kesan tentang seorang modin dalam melewati hari-harinya dan memberikanku seorang Eyang yang menjadi Sinder.


Kalau saja rumah itu tidak diatas tanah INHUTANI, pastilah sudah jadi milik warga disitu....

Selengkapnya.....