Untuk yang kedua kalinya aku dapat kesempatan menjejakkan kaki ke Kota Batam. Pada tanggal 6 Mei 2008 dengan menggunakan pesawat Lion Air aku tiba di Batam pada pukul 17.00 WIB setelah terbang dari Balikpapan dan transit di Jakarta. Dengan menggunakan taxi bandara yang ongkosnya 70.000 rupiah, kami minta diantarkan ke Hotel Bahari di Nagoya yang tarifnya 185.000 Rupiah semalam dan kami memutuskan untuk menginap disitu semalam. Kami sadar kalo daerah Nagoya juga sering disebut-sebut daerah untuk dugem, esoknya kami pindah di Penginapan Pusat Informasi Haji (PPIH) yang fasilitasnya lebih baik dengan tarif 240.000 Rupiah semalam. Kami diberi kamar di lantai 4 dengan view ke arah Barat yang pemandangannya cukup menarik terutama di malam hari yaitu Mesjid Agung dan Kantor Pemko Batam.
Berbeda dengan kebanyakan kota-kota di Indonesia, Batam memang unik. Kota ini mencakup beberapa pulau, sehingga sebutan daerah ini pun bertambah menjadi Barelang. Kependekan dari Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang, yang sekarang dihubungkan dengan jembatan-jembatan. Sungguh sebuah pemandangan yang indah ketika melintasi jembatan-jembatan itu. (Dan ini sangat kontras dengan keinginan warga Balikpapan-Penajam Paser Utara yang berharap daerahnya bisa terhubung dengan jembatan yang katanya akan melintasi Pulau Balang di Teluk Balikpapan.)
Di ujung Pulau Galang yang jauhnya sekitar 60km perjalanan dari pusat kota Batam, terdapat bekas-bekas Camp pengungsi Vietnam yang lari dari konflik di negaranya dimasa lalu. Tempat itu pun kini menjadi obyek wisata, sudah ditinggal penghninya pulang ke Vietnam. Sedangkan Kuilnya Quan Am Tu masih digunakan hingga saat ini dan menjadi Barang Milik Negara.
Keunikan yang lain adalah jenis kendaraan yang lalu-lalang di jalanan. Menurut supir taxi yang kami tumpangi, kebanyakan kendaraan di Batam adalah ex Singapura atau sebut saja limbah. Limbah kendaraan bermotor ini kondisinya sewaktu masuk ke Indonesia masih "baik" dalam ukuran orang kita. Sehingga model dan jenis kendaraannya menjadi tidak umum seperti kebanyakan kendaraan bermotor di Indonesia pada umumnya. Ada sedan dengan merk Rover, Subaru dan model-model dari merk terkenal namun tidak beredar di Indonesia. Saking mudahnya untuk mendapatkan kendaraan second tahun 1997 keatas, kelihatannya membuat warga Batam malas untuk memelihara kendaraannya. Walhasil kendaraan yang lalu lalang rata-rata terlihat kusam dan jorok karena tak pernah dirawat.
Kini untuk mendapatkan mobil second impor dari Singapura sudah tidak mudah. Pemerintah Indonesia melarangnya. Sehingga mobil-mobil itu masuk ke Indonesia dalam bentuk "scrap" alias peretelan. Jadi spare-part second, yang katanya kondisinya malah rata-rata lebih bagus ketimbang spare-part baru tapi kualitas K2 atau K3 buatan Taiwan dan Korea.
Menikmati pemandangan di Kota Batam rupanya juga merupakan keasyikan tersendiri. Jalanan yang rata-rata lebar dengan tepi jalan yang cukup untuk ruang pejalan kaki dan daerah hijau, menunjukkan adanya perencanaan penataan kota yang baik. Jejak peran Badan Otorita Batam dalam penataan kota rupanya sangat terasa. Plazanya jauh lebih banyak dari Plaza yang ada di Kota Balikpapan. Uniknya disini terdapat sebuah komplek shopping center yang namanya Samarinda Shopping Center.
Pilihan menginap di PPIH ternyata membuat kami harus menerima konsekwensi sulitnya cari makan di luar penginapan, khususnya di malam hari. Hanya ada satu warung masakan seafood yang ada di tepi jalan dekat penginapan. Lain dari itu pilihannya kami harus ke Batam Mall Center yang jaraknya sekitar 300 meter dari penginapan. Di lantai II Mall ini terdapat beberapa tempat makan. Kami ternyata hanya tertarik pada menu masakan Sop Tulang yang ada di depot Rumah Makan Minang yang ada disitu. Dan itulah menu makan kami setiap malam selama 4 hari!
Pilihan lain barulah kami peroleh setelah sempat jalan-jalan keliling kota. Ketemu tempat makan di dekat daerah Bukit Senyum. Rumah Makan Pondok Batam Kuring namanya. Tempatnya asyik dengan penataan yang terkesan alami.
Singapura di Depan MataSetelah hari keempat tanggal 10 Mei 2008, dengan mengikuti rombongan, aku dapat kesempatan "nyeberang" ke Singapore melalui International Ferry Terminal Batam Center. Karena ini adalah 0ne day visit, Pagi-pagi pukul 06.30 wib sudah harus kumpul di Pelabuhan. Semua diurus pagi itu juga, Fiskal laut untuk ke Singapura besarnya 500.000 rupiah, ticket ferry Batam Fast beayanya 180.000 rupiah. Selesai urusan itu, sambil menunggu waktu keberangkatan jam 07.00 wib, kusempatkan sarapan disalah satu kantin yang tersedia. Ternyata disini juga ada bubur. Sebut saja bubur Batam. tastenya sebenarnya mirip - mirp bubur Bandung. Lumayanlah buat menghangatkan perut yang masih kosong. Apalagi nanti lamanya perjalanan dengan ferry makan waktu 1 jam.
Tiba di pelabuhan Ferry Harbourfront Singapore Cruise Center sekitar pukul 08.00 wib atau jam 09.00 waktu Singapore, sama dengan waktu di Indonesia Tengah. Letaknya di hadapan Sentosa Island. Pemandangannya pun sudah indah dengan bentangan cable way dari Mount Faber & Cable Car Station hingga ke Sentosa Island. Sayang one day visit tak cukup waktu untuk menikmati itu. Di pelabuhan ini kita sudah harus siapkan segalanya, Pasport, mungkin KTP dan... mental. Ya, mental kita sudah diuji pada saat pemeriksaan pasport. Tampang kriminal, norak, kampungan bakal lama urusannya, apalagi kalau sudah disangka TKI. Petugas yang kutemui disini adalah seorang perempuan keturunan India. Belum apa-apa sudah tidak percaya dengan KTP berwarna biru yang kusodorkan. "Berapa lama kamu di Singapore?" syet, dah, kamu.. kamu.. gak sopan banget nih India. "Ini KTP Indonesia? Kenapa tidak kuning?" (sambil menunjuk bagian atas KTP,
maksudnya kenapa tidak seperti kebanyakan KTP di Indonesia yang bagian atasnya di blok dengan warna kuning). "Itu KTP Balikpapan", jawabku. Bolak-balik KTP itu dipelototi sambil ngecek foto yang ada disitu. Memang saat itu aku tidak bawa apa-apa, backpack pun tidak, malah kakipun cuma pakai sandal saja. Selesai dengan urusan si India gombal itu, lalu dengan mengikuti rombongan menuju ke counter money changer, tukar uang, disini nilai 1 dollar Singapore = 6.800 rupiah. Ternyata lebih murah kalau tukar di Batam, 1 dollar = 6.720 rupiah. Lumayan selisih 80 rupiah apalagi kalau dikali 1juta.
Perjalanan wisata di Singapore bagi pelancong dan turis "nyebrangan" secara kagetan memang sebaiknya mengandalkan jasa travel wisata. Biaya yang harus dikeluarkan lebih terukur, kecuali kalau sudah punya pengalaman dan ngerti route. Rombongan kami yang jumlahnya 12 orang menggunakan jasa turis, pakai 2 mobil. Secara patungan aku bayar 26 dollar Singapore untuk paket wisata
sehari. Route yang dilalui antara lain Patung Singa Marlion di Tanjong Pagar, lalu ke Raffles Place tempat si raffles berdiri dengan angkuhnya, disini kita bisa lihat suasana muara sungai tempat Raffles mendarat di Singapura. Tempatnya mengingatkanku pada kampung halaman, terutama kawasan Jembatan Manggar Balikpapan. Sungguh indah seandainya bisa ditata seperti Raffles Place ini. Banyak burung-burung bebas berterbangan tanpa rasa takut terhadap orang-orang yang lalu lalang. Setidaknya ada
terlihat sejenis burung kutilang, gagak dan cucak rawa. Disekitar Tanjong Pagar ini pula terdapat terowongan kecil tempat pejalan kaki melintasi jalan raya. Persis seperti terowongan yang ada di Terminal Bis Batu Ampar Balikpapan, melintasi terminal menuju perumahan Batu Ampar Lestari yang sayangnya tidak terurus.
Perjalanan dilanjutkan menuju Mustafa Center, tempat yang sering direkomendasikan di banyak situs sebagai surga belanja termurah di Singapura. Murah? kalau dibanding dengan harga barang-barang sejenis di Nagoya Batam sepertinya berimbang
saja. Mungkin malah lebih murah di Glodok Jakarta. Lepas dari situ sudah jam 12.30 waktunya pergi ke rumah makan Minang yang terletak di Muscat Road, Malay Village, dekat sebuah mesjid, sayang aku lupa namanya. Satu prosi makanan khas Padang disini rata-rata 4 dollar, lumayan sedap apalagi kalau sedang lapar dan sudah ikut antrian yang kebanyakan orang-orang Malaysia dan Indonesia.
Selesai makan kemudian menuju ke Little China, disini ada parfum yang di pasaran Indonesia seharga 400.000 rupiah dijual hanya seharga 200.000 rupiah. Penjualnya keturunan India dan ngakunya mau pindah usaha ke Indonesia.
Selanjutnya kami ke Kampung Bugis. Tetapi jangan berharap bertemu dengan saudagar Bugis. Tetap saja pedagangnya kebanyakan keturunan India dan keturunan China. Kita bicara dengan mereka dalam bahasa Inggris. Ah. itu juga nggak perlu, yang penting bisa ngomong "How Much?" dan bisa ngitung konversi dollar Singapore ke Rupiah sudah cukup, kok. Disini aku ketemu Becak Singapore. Canggih, mengkilap, pakai Sound System dengan MP4 Player dan Portable Game SP2. Drivernya keturunan China masih muda telinganya bertindik dan pakai badge pengenal.
Hari sudah sore ketika aku sampai di Orchard Road, tempat yang sangat sering disebut-sebut oleh orang-orang kita yang sudah pernah kesana. Terbengong-bengong di Lucky Plaza hingga ke
Tang Plaza hanya menyaksikan orang-orang hilir mudik. Mungkin sama saja dengan Sogo di Jakarta, begitulah. Akhirnya nyelonong ke belakang Plaza, eh, malah ketemu Mount Elizabeth Hospital. Ini dia tempatnya yang sering disebut-sebut dalam koran sebagai tempat bagi kebanyakan Pejabat Indonesia berobat. Seru juga ternyata, sambil berobat, belanjanya tinggal jalan kaki saja. Apalagi kalau pejabatnya pergi berobat sambil bawa .. eh, diantar sanak family.
Sebelum kembali ke Singapore Cruise Centre, kami mampir dulu di Temasek Boulevard, menyaksikan air mancur ditengah Suntec Tower yang jumlahnya ada lima tower. Sebuah kawasan yang memberikan sensasi berbeda.
Satu hari perjalanan ternyata benar-benar hanya cukup buat observasi doang. Memang paling baik bila kita sediakan waktu (dan uang) yang cukup untuk merasakan lebih jauh seperti apa sebenarnya negeri wisata seperti Singapore ini. Sambil terapung-apung kembali ke Batam pada jam 19.30 waktu Singapore, aku berkesimpulan bahwa sebenarnya tidak banyak bedanya dengan Batam. Kedua tempat itu sama-sama diisi dengan jenis-jenis mobil mewah.
Kalau di Singapore diisi dengan mobil seri keluaran baru, Batam diisi dengan mobil seri keluaran lama bekas orang singapore... Sama-sama bisa makan di pinggir jalan, bedanya Singapore bebas debu, Batam makan debu. Jalanan sama-sama lebar, cuma beda di marka jalan doang. Batam jarang ada marka jalannya! Saran nih, kalau habis pulang dari Singapore dan singgah di Batam, jangan bandingkan kedua tempat ini.