Lucunya Bekerja Di Lingkungan Dengan Sangkaan Korupsi

Ini mungkin tindakan yang paling tidak populer.
Tapi karena lucu, ya sudah di copy paste saja sambil minta ijin kepada yang punya blog di Pusat Study Indonesia. Dengan judul yang sedikit saya modifikasi.

Soal sependapat atau tidak dengan isi tulisan blog itu, terserah jalan pikiran masing-masing pembacanya.

Berikut ini kutipan selengkapnya :

Banyak orang ternyata di Indonesia yang sudah risih mempunyai rekan kerja yang ternyata seorang koruptor.

Korupsi sebenarnya tidak saja merugikan institusi tapi juga bisa merugikan dan bahkan mengancam karir rekan kerja lain yang tidak tahu menahu.

Beberapa keluhan dari seorang yang mempunyai rekan kerja yang ternyata seorang koruptor adalah:

1. Beban kerja semakin berat karena rekan kerja koruptor tidak akan mau mengerjakan pekerjaan tanpa disuap dulu. Dia akan berusaha menangani kerja yang ada uang suapnya. Akibatnya rekan kerja yang kebagian "pekerjaan berat" yang tanpa suap.

2. Seorang koruptor biasanya sangat piawai menjilat atasan, bahkan kerjasama dengan atasan atau pemeriksa. Sehingga karir rekan-rekannya bisa terancam apabila atasan kollaborator mudah dibujuk dan punya kesempatan untuk memecat bahwan yang anti-koruptor tersebut.

3. Adanya pengucilan, apabila semua orang telah menganggap yang tidak bisa "diajak main" atau ikut nimbrung korupsi adalah seorang kampungan dan sok suci. Sehingga sangat rentan mendapat sangsi pekerjaan karena dianggap "tidak gaul" atau tidak bisa bekerja dalam "team work"

4. Koruptor sering mengejek dan meledek rekan kerja yang anti korupsi sebagai "si lugu" atau "dasar pekerja rodi".

5. Atasan yang kollaborator lebih condong memberi pekerjaan rutin yang tanpa "masukan/suap" kepada bawahan yang sok suci. Sehingga pekerjaan menjadi overload. Karena rekan kerja koruptor biasanya hanya mengerjakan bila disuap. Hal ini biasanya terjadi di lingkup kerja pelayanan publik.

6. Sesama rekan kerja yang punya idealisme juga sering terjadi perpecahan. Satu pihak biasanya ada yang berani membongkar kasus korupsi itu, di lain pihak bisanya ada yang takut atau sungkan. Hal ini bisa diperparah apabila ternyata ada juga yang simpati kepada koruptor itu karena berbagai hal, jadi melupakan aspek korupsinya. Kalau sudah begini, lingkungan keja bisa ditebak bak "api neraka" atau "perang dingin" di kantor.

7. Yang lebih susah adalah, apabila ternyata korupsi itu terbongkar. Rekan-rekan yang tidak tahu menahu pun ikut diperiksa polisi. Bagi orang-orang sok suci yang terperangkap pernah "ditraktir" oleh sang koruptor, walau tidak tahu itu hasil korupsi, ikut diciduk.

8. Karena sang koruptor punya banyak uang dari hasil korupsi, bisanya karirnya cepat melonjak tinggi. Rekannya yang profesional dan tidak mau korupsi dan dicap "sok suci" tersebut bisanya mempunyai karir yang lambat dan bisa-bisa tidak naik-naik sampai pensiun atau dipecat atau mengundurkan diri.

9. Ada juga koruptor yang tidak mementingkan karir. Biasanya ini terjadi di PNS. TArget mereka adalah mengumpulkan duit untuk masa tua. Segera setelah kebutuhan primer, sekunder dan tertier sudah terpenuhi bisanya dia akan meloncat pagar mencari karir lain yang gajinya lebih besar, di swasta, pengusaha, partai politik dll.

10. Korupsi yang sangat sulit diungkap adalah apabila rekan kerja itu menjadi "beking" atau "insider" bagi perusahaan umum yang berkepentingan. Sulit untuk membuktikan kasusnya. Bisanya fasilitas kantor diarahkan untuk mendukung segala bisnis dan usaha perusahaan tersebut. Rekan yang tidak mau korupsi jadi ikut "kerja paksa" mensukseskannya, karena target peekerjaan kantor sudah di"manipulasi" untuk hal itu.

11. Melaporkan kasus korupsi belum dianggap baik di Indonesia. Biasanya akan dicap "pelapor" "bocor" dan "pembongkar rahasia negara" dll. Sukur-sukur tidak dituntut balik.

12. Koruptor biasanya mempunyai "beking" juga. Misalnya diinstansi yang lebih atas, atau malah di pihak "berwajib". Sehingga atasan yang baik dan tidak mau berkolaborasi akan sungkan dan takut mengatasinya. Bisa-bisa kena tegoran dari atasannya yang lebih atas di mana beking nya ada di situ.

13. Atasan yang koruptor biasanya meng-eksploitasi bawahan yang lugu untuk urusan korupsi. Bila terbongkar bawahan yang ditangkap.

14. Koruptor bisanya sangat suka berderma. Sehingga masyarakat yang punya urusan sangat merindukan kehadirannya. Rekan-rekannya yang tidak mau korupsi bisa-bisa kena cap "pelit" "tidak mau bagi-bagi rezeki" dll.

15. Koruptor ada juga yang menyembunyikan niat buruknya atau korupsinya dengan jiwa "nasionalisme". Jadi karena merasa negara "telah memberinya rezeki yang banyak, dia sangat kuat nasionalismenya. Kalau ada acara selalu ikut, membenci orang yang dianggap tidak nasionalis dan sering kali menunjukkan nasionalismenya secara over. Sebuah nasionalisme seorang penipu yang justru merusak nasionalisme.

16. Ada juga koruptor temporer, bisanya hanya korupsi di waktu muda, kalau sudah tua atau di posisi penting akan tobat.

17. Koruptor seringkali bisa dieksploitasi pihak asing untuk kepentingan mereka. Bisanya dia akan membuat kebijakan yang seakan-akan membela kebijakan Indonesia padahal jangka panjang nya membuat Indonesia semakin terpuruk. Biasanya ini terjadi di BUMN, badan regulasi dll.

18. Ada juga rekan kerja yang ternyata seorang koruptor menyembunyikan image nya dengan menunjukkan sikap tampat seorang yang "saleh" beribadah.

Dikutip lengkap dari : http://politik2009.blogspot.com/2008/12/sulitnya-punya-rekan-kerja-ternyata.html

Saya menemukan satu pendapat dari seorang guru yang rajin ngeblog dan juga ikutan Facebook. Ia mengatakan bahwa anti-korupsi bisa diajarkan melalui pelajaran matematika. Dalam blognya, Bu Guru yang calon PhD dan saat ini ditulis sedang menimba ilmu di Australia menulis sebagai berikut ; lagi-lagi saya salin lengkap saja, supaya tidak bias dan pemahamannya diserahkan kepada pembacanya. Tetapi hanya di bagian ke II dari 2 bagian tulisan yang ada di blognya sebagai berikut :
Menghitung Angka, Memahami Nilai Sebuah Kerugian
Thursday, 14 February 2008
Sitti Maesuri Patahuddin
Pelajaran matematika memiliki banyak tema yang bisa digunakan. Ada operasi bilangan statistik, pengukuran dan lain-lain. Semua ini bisa menjadi acuan dalam mengajarkan korupsi.

Seorang guru dapat memilih tema 'Awas Korupsi!' atau 'Ancaman Korupsi' selama periode sebulan. Jadi semua topik matematika pada bulan itu dibahas berdasarkan tema tersebut. Beberapa hal dapat dilakukan untuk memfasilitasi siswa mencapai tujuan belajar matematika. Misalnya, memberi kesempatan siswa mendiskusikan dan menyepakati definisi korupsi.

Di sini, siswa berlatih mengkomunikasikan ide-idenya dan secara bersama-sama membuat kesepakatan tentang definisi tersebut. Definisi akan membantu mereka mengidentifikasi contoh atau bukan contoh dari suatu tindak korupsi. Mereka bisa mendiskusikan contoh-contoh di sekitar mereka. Misalnya “Apakah sopir bus yang tidak memberikan tiket bus adalah sebuah tindak korupsi”.

Dalam pengajaran bilangan misalnya, kita berharap anak mengerti bilangan satu juta dan satu miliar (bilangan yang dipilih tentu tergantung dari level kelasnya). Pembelajaran ini bukan hanya sekedar menginformasikan bahwa satu juta mempunyai enam nol (1.000.000) dan satu miliar mempunyai sembilan nol (1.000.000.000), tetapi siswa dibantu memahami seberapa besar nilainya.

Misalnya, seberapa banyak satu juta biji jagung? Atau, satu miliar rupiah? Ini terkait dengan 'number sense'. Contoh yang kontekstual dengan kehidupan sehari-hari akan mempermudah siswa memahami makna dan dampak korupsi, dan diharapkan membuat mereka menjadi generasi anti-korupsi.

Ketika sebuah berita di koran menyebutkan 'Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) sebesar Rp 100 miliar yang disalurkan melalui Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI)”, guru perlu merumuskan pertanyaan: berapa besarkah/nilai uang 100 miliar tersebut? Anak dapat difasilitasi melakukan kegiatan investigasi, seperti mengidentifikasi kebutuhan di sekolahnya dan nilai/harganya (harga buku-buku pelajaran, alat olahraga, komputer, laptop, video, bangku sekolah dan lain-lain).

Mereka pada akhirnya memahami bahwa uang Rp 100 miliar tersebut dapat dibelikan ratusan komputer dan jutaan buku untuk kebutuhan beribu-ribu siswa, puluhan lapangan olahraga yang memadai, membebaskan biaya sekolah ribuan siswa, dan lain-lain.

Alternatif lain, mereka bisa dilibatkan dalam kegiatan pemecahan masalah: bagaimana merencanakan pemanfaatkan uang Rp 100 miliar untuk membangun sebuah perpustakaan umum di sebuah daerah. Para kelompok siswa diberi kesempatan untuk mempresentasikan perencanaanya di depan kelas atau di majalah dinding.

Melalui kegiatan penyelidikan atau pemecahan masalah, diharapkan anak tertarik belajar matematika (karena berhubungan dengan kehidupan sehari-hari), membantu mereka memahami konsep-konsep matematika secara mendalam (karena terlibat langsung dalam mengerjakan matematika), menyadari pentingnya matematika (karena melihat peran matematika dalam kehidupan), mengembangkan keterampilan yang esensial dimiliki untuk kehidupan masa depannya: berfikir kritis, berkomunikasi, bekerja sama, dan lain-lain.

Dengan pemaknaan yang mendalam tentang bilangan, para siswa mengerti berapa nilai kerugian korupsi Rp 100 miliar rupiah yang ditimbulkan bagi dirinya dan masyarakat lainnya. Para siswa akhirnya diharapkan dapat lebih cepat memahami permasalah masyarakat dan mengkritisi kejadian yang ada di sekitar mereka. Dengan demikian, moral anak terhadap korupsi dibangun sejak dini dan semoga mereka bisa imun terhadap virus korupsi.

Kita semua berharap, upaya para guru didukung para orangtua dan masyarakat ini akan menjadikan anak-anak pemimpin masa depan bangsa Indonesia terhindar dari penyakit korupsi. Tak kalah pentingnya, kegiatan semacam ini tentu bisa menyurutkan nyali para pejabat pendidikan untuk melakukan korupsi.

Tulisannya ini secara lengkap juga dipublikasikan pada Pendidikan Network dengan judul yang sama.

Nah untuk study kasus, coba pelajari berita di Harian Tribun Kaltim tanggal 28 Februari 2009 halaman 22 http://issuu.com/tohirtribun/docs/gabung_280209/21





SocialTwist Tell-a-Friend

2 Comments:

Anonymous said...

seru juga ya
:)

Anonymous said...

Susahnya kalau korupsi sudah jadi budaya ...