A. Latar Belakang : Kondisi Lapangan Bali
Sejak tahun 1927 Pemerintah Hindia Belanda telah menetapkan kawasan hutan di Bali menjadi hutan produksi dengan luas areal mencapai 1.392 Ha berdasarkan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 28 tanggal 29 Mei 1927 yang dilanjutkan dengan pemancangan batas pada tahun 1934.
Setelah terjadi penggunaan kawasan di Benoa Bali sebagai areal pertambakan seluas +/- 306 Ha sejak tahun 1974, pemerintah selanjutnya mengembalikan fungsi kawasan tersebut menjadi Kawasan Hutan Lindung dan Taman Wisata berdasarkan SK Menhut No.095/Menhut-II/1988. Terakhir disempurnakan dengan SK Menhut No.544/Kpts-II/1993 tentang Tahura Ngurah Rai.
Dengan adanya kerusakan hutan mangrove sebagai akibat perubahan fungsi hutan yang berlebihan dan semakin parah dari tahun ke tahun, Departemen Kehutanan mengantisipasinya dengan memulai Proyek Pengembangan Pengelolaan Hutan mangrove Berkelanjutan yang dibantu oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) pada tahun 1992-1999. Proyek ini menggali kemungkinan-kemungkinan investasi untuk mendukung aktivitas rehabilitasi dan pengelolaan hutan mangrove, dimana salah satunya berupa penanaman hutan mangrove seluas 253 Ha.
Untuk mendistribusikan teknik-teknik unggulan yang dikembangkan oleh proyek tersebut diatas kepada masyarakat, dirasa perlu adanya penguatan system penyuluhan dan peningkatan aktivitas pengelolaan hutan secara berkelanjutan yang diwujudkan dalam bentuk Proyek Pusat Informasi mangrove yang dimulai pada 15 Mei 2001 hingga 14 Mei 2004.
Saat ini luas hutan mangrove di Propinsi Bali meliputi +/- 7.034,07 Ha yang tersebar di 6 kabupaten dan +/- 1.373,05 Ha lahan mangrove di Denpasar pengelolaannya diserahkan kepada Tahura Ngurah Rai.
Selain itu pada tahun 1970, pemerintah meminta bantuan Centrale pour l’Equipement Touristique Outre-Mer (SCETO) untuk memberikan saran master plan dalam pengembangan pariwisata di Bali. Dimana kawasan yang direkomendasikan untuk pengembangan resort yang dapat meminimalisasi dampak dan pengaruh turisme terhadap kultur masyarakat Bali adalah kawasan Nusa Dua. (Nusa Dua – nama lokal yang diberikan masyarakat Bali untuk daerah pesisir di selatan Bukit Peninsula Bali, yang menggambarkan terdapatnya dua pulau kecil di pesisir tersebut)
Pada tahun 1973 berdasarkan Nusa Dua Master Plan yang dikeluarkan oleh Pasific Consultans International, pemerintah menugaskan Bali Tourism Development Corporation (BTDC) untuk melaksanakan rencana tersebut. Proyek terbesar di Bali tersebut akan mengelola infrastruktur di areal seluas 300 hektare yang meliputi areal pembibitan tanaman, ketenagalistrikan, instalasi pengolahan limbah cair yang terintegrasi dengan system penyediaan air yang dikelola secara modern, system irigasi dan drainase, jaringan telekomunikasi dan jalan raya.
Instalasi pengolahan limbah cair tersebut diatas dikenal dengan sebutan Nusa Dua Eco Lagoon, yang penataannya mampu mengkontribusi keindahan alam, turut melindungi habitat varietas mangrove yang terdapat dalam ekosistem pesisir dan tempat yang aman bagi persinggahan migrasi burung.
B. Gambaran Umum
Kecenderungan rusaknya ekosistem hutan tropis, menurunnya keanekaragaman hayati dan berkurangnya sumberdaya hutan kawasann DAS Teluk Balikpapan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pemanfaatan ruang dikawasan teluk dan pesisir untuk berbagai kepentingan seperti pembangunan pusat-pusat perkotaan dan pelayanan masyarakat, bisnis industri dan usaha ekonomi lainnya yang terus bertambah.
Apabila kegiatan-kegiatan diatas dilakukan secara tidak rasional dan kurang memperhatikan aspek kelestarian, tidak berwawasan lingkungan dan tidak transparan, tidak dilakukan secara partisipatif, maka akan terjadi kerusakan dan pencemaran baik di daratan, aliran-aliran sungai, pesisir dan lautan di Teluk Balikpapan.
Berdasarkan konsep Pengelolaan Pesisir Terpadu / Integrated Costal Management (ICM) selanjutnya secara operasional kegiatan implementasi ini direalisasikan melalui kegiatan terpadu dalam penanganan isu di kawasan teluk terutama untuk kasus mangrove dan tambak yang terkait dengan isu lain seperti erosi sedimentasi, pencemaran, kebijakan dan kelembagaan yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Kelompok Kerja Terpadu.
C. Tujuan dan Sasaran
Tujuan pelatihan dilaksanakan dalam rangka :
1. Tukar pengalaman tentang pelaksanaan pengelolaan hutan mangrove dan pesisir dengan Propinsi Bali dan kendala-kendala yang dihadapi.
2. Menjaring masukan dari daerah Bali tentang system penataan hutan bakau dan pesisir yang dilakukan.
3. Mengenal dan mengetahui proses perencanaan dan program pengelolaan mangrove dan pesisir.
Sasaran pelatihan :
Sasaran yang ingin dicapai dalam pelaksanaan pelatihan adalah terselenggaranya pengelolaan mangrove yang terarah, partisipatif dan terpadu berdasarkan konsep dan strategi yang berkelanjutan.
BAB II
PROSES PELATIHAN
A. Hasil Kunjungan Lapangan
Dalam Pembahasan Materi dan hasil pengamatan selama proses pelatihan sepenuhnya didasarkan pada kenyataan lapangan di Bali. Dalam hal ini terdapat beberapa hasil-hasil sebagai berikut :
a. Kawasan Mangrove
Jika pada tahun 1992-1999 proyek ini berorientasi pada teknis-teknis penanaman, penyulaman dan rehabilitasi mangrove. Pada tahun 2001-2004 Pusat Informasi Mangrove diperkuat secara kelembagaan dalam hal kemampuan untuk melaksanakan aktivitas yang akan memberikan kontribusi bagi promosi untuk pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang berkelanjutan. Atau dengan kata lain peningkatan proses penyadaran masyarakat terhadap pentingnya hutan mangrove. Untuk mencapai tujuan itu, MIC membentuk beberapa seksi, yaitu : Seksi Perencanaan, manajemen, Pelatihan, Penyuluhan, Ekowisata, Penelitian dan informasi, Pendidikan Lingkungan dan Persemaian. Saat ini area persemaian (Nursery) yang dimiliki seluas 7.700 m3.
Pengelolaan Hutan Mangrove di Bali selama ini disokong pendanaannya oleh Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) sejak tahun 1992 dan oleh Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan. Sedangkan dukungan dari Pemerintah Propinsi Bali bersifat non financial. Cepatnya upaya pemulihan yang dilakukan di Bali terutama didukung pula oleh budaya masyarakat Bali yang memiliki instrument hukum adat yang disebut “awig-awig”, selain itu masyarakat telah terbiasa untuk mencari penghidupan dari unsur pariwisata yang menjadi sumber devisa paling tinggi bagi Propinsi Bali, sehingga habitat mangrove hanya sedikit mengalami gangguan tangan manusia.
Penggalangan, pembelajaran tentang lingkungan hidup mangrove dilakukan dengan pola partisipasi, yaitu penyemaian bibit mangrove oleh pihak-pihak pemangku kepentingan, pendidikan melalui sekolah-sekolah dan pembukaan akses ke hutan mangrove melalui pendekatan ekowisata.
Dengan luas areal yang dikelola 253 Ha, hutan rehabilitasi mangrove ini dilengkapi pula dengan jembatan kayu (trail) sepanjang 1,5 kilometer, 4 buah pondok peristirahatan (hut) dan 1 unit floating deck yang berfungsi sebagai tempat pengamatan terhadap makhluk lumpur dan tanaman mangrove berdasarkan pola pasang naik dan pasang surut air permukaan.
Jembatan kayu yang ada sangat memudahkan dalam pengawasan maupun untuk keperluan pengamatan habitat botani maupun hewani. Penelitian secara cermat telah menetapkan bahwa setidaknya jenis-jenis hewan yang ditemukan hidup dikawasan ini adalah kepiting (17 jenis), Reptil Biawak, Kerang, Burung dari jenis Whrimbel, Kuntul, Pacific Golden Plover, Trinil, Dara Laut maupun Tekukur. Selain itu tentunya jenis-jenis mangrove yang ada dicatat dan didata seluruhnya terdapat 13 jenis mangrove mayor dan 9 jenis mangrove minor, untuk memudahkan pengamatan dan penelitian.
Didalam area hutan mangrove ini penduduk masih bisa melakukan kegiatan ekonomi, diantaranya adalah budidaya kerang yang dilakukan disela-sela tanaman mangrove, maupun penangkapan ikan di alur-alur sungai yang ada. Seluruh kegiatan masyarakat tersebut dilakukan hanya atas perjanjian lisan dan tidak dikenakan beban biaya apapun kecuali komitmen yang dibangun secara bersama-sama. Pengenaan sangsi terhadap pelanggaran cukup melalui desa adat yang memiliki instrument hukum “awig-awig”.
Hal menarik lainnya adalah terdapatnya jenis Mangrove yang bersifat toxic. Jenis mangrove ini dengan nama local Buta Buta dapat tumbuh didaerah tropis khatulistiwa dan berada pada lahan yang cenderung kering basah. Berkembangnya suatu pemikiran untuk membudidayakan jenis mangrove Buta Buta ini untuk menjadi buffer bagi jenis-jenis mangrove lain guna melindungi dan memberikan kesempatan tumbuh bagi mangrove lain dari gangguan manusia merupakan ide yang patut dipertimbangkan.
Permasalahan yang timbul dalam pengelolaan kawasan ini adalah alur-alur sungai yang memiliki hulu berada ditengah pemukiman penduduk kota. Kebiasaan penduduk (seperti di banyak kota lainnya di Indonesia) adalah membuang sampah ke sungai-sungai menyebabkan terjadinya konsentrasi sampah yang cukup besar di hilir sungai yang berada di tengah hutan mangrove. Efek negative akibat sampah yang sebagian besar bersifat non degradable ini adalah terjadinya penumpukan pada ujung-ujung akar seperti Sonnetaria alba yang berpengaruh pada terhambatnya supply udara melalui akar-akarnya yang berbentuk pensil. Jika terjadi secara terus menerus akan menghambat pertumbuhan pohon dan lambat laun akan mematikannya. Adapun efek positif yang mungkin timbul dengan adanya tanaman bakau adalah terhambatnya laju aliran sampah ke laut dan pesisir akibat tersangkutnya sampah-sampah tersebut pada akar-akar mangrove. Sehingga penanganan sampahpun dapat dikonsentrasikan hanya di daerah aliran sungai yang melalui hutan mangrove tersebut.
Kawasan mangrove yang telah dikembangkan selama lebih dari 10 tahun ini memang belum memasuki tahap komersil. Namun penataannya menunjukkan kesiapan sebagai salah satu obyek tujuan wisata yang didukung dengan telah berkembangnya Pulau Bali sebagai daerah tujuan wisata baik domestic maupun internasional.
b. Instalasi Pengolahan Limbah
Instalasi pengolahan air limbah domestic yang dikelola Bali Tourism Development Corporation (BTDC) ini adalah instalasi yang menangani seluruh limbah cair yang disalurkan dari Resor-resor, Villa, Spa, Apartement, Hotel, restaurant, swimming pool, Shopping Center dan Lapangan Golf yang dikelola secara terpadu dalam areal Nusa Dua. Kawasan ini tidak memperkenankan adanya pengelolaan secara independent terhadap segala bentuk limbah cair. Sehingga tugas tersebut hanya ditangani oleh BTDC yang menyiapkan seluruh jaringan bawah tanah guna pengumpulan limbah, pengolahan dan pendistribusian kembali seluruh keperluan air baku guna penyiraman tanaman, keperluan lapangan golf dan lain-lain yang ada di kawasan Nusa Dua. Konsep penanganan yang ramah lingkungan pada kolam air limbah selanjutnya disebut eco-lagoon. Yang mengindikasikan tingginya kualitas lingkungan hidup yang dapat diselenggarakan oleh instalasi ini. Pada kolam pengolahan air limbah terakhir dapat dipadukan dengan wisata pemancingan dan wisata alam. Dimana saat ini banyak terdapat populasi burung-burung yang menjadikan kawasan ini sebagai tempat peristirahatan selama perjalanan migrasi burung-burung tersebut.
Kebutuhan air bersih untuk semua fasilitas fisik dipenuhi dari PDAM. Pertimbangan tidak diperkenankannya pembuatan sumur bor oleh hotel-hotel di Bali karena hal tersebut akan mempengaruhi volume air bersih bagi masyarakat. Hotel tentunya membutuhkan air bersih dalam jumlah banyak, sehingga masyarakat sekitar pasti akan terkalahkan dan terjadi kelangkaan air bersih bagi masyarakat.Karena itu Hotel-hotel di Nusa Dua Bali harus menggunakan air PDAM yang bersumber dari sungai.
Daerah lain yang menjadi obyek kunjungan adalah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) limbah padat yang menggunakan area berdampingan dengan kawasan hutan bakau Benoa. Luas area TPA ini pada awalnya kurang lebih 30 Ha, saat ini telah terjadi peluasan areal menjadi 50 Ha. Lahan yang digunakan adalah lahan potensial habitat mangrove, namun demikian kebijakan pemerintah Propinsi Bali telah menjadi ketetapan dalam pemanfaatan kawasan ini.
c. Kawasan Reklamasi
Daerah yang menjadi tujuan kunjungan lapangan berikutnya adalah Pulau Serangan yang pada tahun 1996 direklamasi oleh BTDC dan terhenti sejak 1997 karena krisis ekonomi.
Kegiatan reklamasi yang meliputi ratusan hektar ini ternyata tidak disertai kajian lingkungan yang mendalam, sehingga menimbulkan beberapa dampak negative diantaranya :
1. Rusak dan hilangnya ekosistem rumput laut dan habitat penyu yang ada di pesisir Pulau Serangan.
2. Rusaknya terumbu karang akibat proses reklamasi yang menggunakan material urugan berasal dari pasir laut.
3. Terjadinya efek abrasi terhadap Pantai Sanur yang potensi ekonomi kepariwisataannya lebih besar.
4. Tidak adanya sumber kegiatan ekonomi bagi penduduk desa Serangan karena lahan hasil reklamasi yang tidak cocok untuk pertanian. Selain itu daerah tersebut tidak menjadi daerah tujuan wisata, sehingga kegiatan perekonomian masyarakat di bidang UKM tidak berkembang. Satu-satunya mata pencaharian masyarakat setempat adalah menjadi nelayan di laut lepas Selatan Bali yang berombak besar.
Dampak besar dari kegiatan reklamasi ini menimbulkan kemarahan masyarakat Bali yang berujung pada berlakunya hukum adat kepada pemerintah masa itu yang dipimpin oleh Gubernur Ida Bagus Oka. Dimana pada masa akhir hayatnya, beliau tidak diterima oleh masyarakat Bali dan jasadnya tidak boleh dikebumikan di Pulau Bali.
Selanjutnya upaya Pemerintah Bali yang telah dilakukan untuk mengatasi dampak negative kegiatan reklamasi tersebut antara lain :
1. Mengupayakan kerjasama dengan tenaga ahli di bidang lingkungan melalui Bapedal Bali walaupun terkendala dengan minimnya pendanaan.
2. Membangun grow-in pada sisi kiri-kanan daerah reklamasi dengan maksud mengiliminir laju abrasi akibat perubahan pola arus dan gelombang yang menghantam Pantai Sanur. Selain itu di Pantai Sanur pun dilakukan pula pembangunan grow-in.
Obyek wisata Pantai Sanur, yang menjadi tujuan kunjungan lapangan berikutnya, memiliki karakterisitk unik. Yaitu terdapatnya dua pasir pantai yang berbeda. Pasir hitam menunjukkan adanya proses sedimentasi pesisir yang berasal dari daratan dalam jumlah yang besar. Dimana sungai besar yang membawa pasir dari letusan gunung Api Agung yang kaya besi dan berwarna hitam, mengalir hingga ke Pantai Sanur.
Sedangkan disisi lain Pantai Sanur terdapat pasir putih yang berasal dari hancuran terumbu karang yang terbawa arus gelombang laut. Hal ini menunjukkan bahwa proses asal laut sangat dominan sehingga sedimen asal laut lebih banyak dan berwarna putih.
Untuk mencapai wilayah pasir putih, dapat ditempuh dengan berjalan kaki sepanjang tepi pantai yang telah difasilitasi sarana pejalan kaki yang menggunakan cone block. Sehingga sesuai hakekatnya maka daerah ini menjadi sarana public yang bebas biaya/gratis.
Sanur yang pada awalnya merupakan desa nelayan mengalami perubahan kultur masyarakat menjadi masyarakat pariwisata. Perahu-perahu yang dahulunya berfungsi sebagai transportasi penangkap ikan berubah menjadi perahu hias dan disewakan untuk keperluan turisme. Selain itu di Pantai yang hingga saat ini terdapat 8 desa disekitar Sanur dan semuanya merupakan desa adat, kini telah pula dilengkapi dengan sarana olahraga dayung menggunakan perahu-perahu dayung yang terbuat dari fiberglass. Perahu tersebut dapat disewa dari penduduk-penduduk setempat.
Di Bali Beach Hotel, yang merupakan bangunan pertama di Bali yang melanggar aturan adat larangan tinggi bangunan melebihi tinggi pohon kelapa, penanganan limbah cair telah disempurnakan dengan membuat saluran pembuangan dan tangki pengolahan. Pantainya telah pula dilengkapi dengan grow-in untuk mencegah abrasi pantai yang terus berlangsung.
Walaupun tidak berhubungan nampaknya masyarakat Bali percaya bahwa gempa yang merusakkan bangunan Bali Beach Hotel beberapa tahun lalu, merupakan pertanda yang diyakini perlunya keseimbangan alam dalam memaduserasikan bangunan-bangunan dengan lingkungan sekitarnya di Pulau Bali.
B. Hasil Pemaparan dan Diskusi
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen dalam pemaparannya menjelaskan arti penting Pesisir Indonesia yaitu :
1. Sekitar 30% Hutan mangrove dan Terumbu Karang Dunia ada di Indonesia.
2. Sekitar 85% SD Ikan berasal dari Perairan pesisir.
3. Sekitar 60% Penduduk Indonesia hidup di wilayah Pesisir
4. Sekitar 42 kota dan 181 Kab. Terletak di wilayah Pesisir
5. Kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional sekitar 20,5%
6. Sektor kelautan menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja secara langsung.
Sedangkan dimensi ekologis pesisir adalah :
1. Sebagai sumber Daya Alam (sumber daya ikan, Mangrove, Terumbu Karang dll)
2. Penyedian jasa-jasa pendukung kehidupan (sumber aiar besih, tempat budidaya
3. Penyediaan jasa-jasa kenyamanan (Tempat rekreasi, Pengembangan Pariwisata)
4. Penerima Limbah (Penampungan Limbah dari aktifitas dari darat dan laut).
Keterkaitan lahan atas (DAS) dan pesisir
1. Penghubung antara daratan di hulu dan wilayah pesisir
2. Penghantar bahan pencemar dari hulu ke pesisir
3. Dampak yang terjadi di hulu juga dirasakan di pesisir karena peran DAS.
Pentingnya Pengelolaan pesisir terpadu atau Pengelolaan Komprehensip
1. Perhatian mendalam dan menyeluruh SDA yang unik
2. Optimalisasi Pemanfaatan serbaaneka ekosistem dan SDA pesisir dan laut
3. Integrasi ekologis, social ekonomi dan budaya lainnya
4. Peningkatan pendekatan interdisiplin dan koordinasi antar sector dalam masalah pesisir.
Mengapa dibutuhkan pengelolaan pesisir terpadu
1. Untuk menjamin keberlanjutan pemanfatan sumber daya dan perlindungan lingkungan pesisir
2. Untuk meminimalisir dan meresolosi konflek beragam terhadap sumber daya pesisir
3. Untuk meningkatakan koordinasi lintas sektoral/ bidang dalam perencanaan dan pengelaolan
4. Untuk mengedepankan kebijakan fungsional
5. Untuk mereduksi resiko terhadap masayarakat terhadap ekosistem
6. Untuk menciptakan investasi lingkungan.
Isue-Isue utama Pengelolaan Pesisir
1. Kurangnya pengetahuan dann pemahaman tentang sumber daya pesisr dan proses-proses yang terkait dengan keberadaannya
2. Undervaluasi sumber daya pesisir dan laut
3. Lemahnya pemberdayaan masyarakat pesisir dan penguna sumber daya pesisir dan laut
4. Kurang jelasnya kewenangan legal dan kerangka kerja perencanaan ICM.
5. Lemahnya kapasitas kelembagaan untuk ICM
6. Kurangnya keterpaduan antar program.
Pengembangan Terumbu Buatan
1. Pada dasarnya adalah habitat baru dalam ruang laut dan penyediaan lapisan substrat bagi kawasan makanan ikan, krustasea dan moluska.
2. Terumbu buatan adalah struktur atau kerangka yang sengaja dipasangkan ke dalam laut yang ditujukan sebagai tempat perlindungan dan habitat bagi organisme laut atau sebagai pelindung pantai.
Beberapa model terumbu buatan yang direkomendasikan antara lain :
1. Modul Terumbu Bambu, 3 bulan efektif habitat dapat segera tumbuh namun bahan cepat rapuh.
2. Modul Terumbu Ban, 6 bulan efektif akan menjadi habitat ikan. Sangat sesuai untuk lokasi yang terlindung dari angin dan arus laut yang lemah.
3. Modul Hong Concrete (beton), 1 tahun efektif berperan dalam pengumpul ikan, penumbuh terumbu dan pelindung pantai. Sangat sesuai dengan lokasi yang terbuka dan arus laut kuat. Dimana 1 unit concrete terumbu memiliki bobot 5 ton.
Ada 4 prinsip dalam konservasi mangrove yang harus diketahui :
1. pola Wanamina Empang parit : dipinggiran air dan ditengah mangrove, mempunyai kelemahan karena pintu air satu maka semua daun-daun terkumpul dan mempengaruhi empang (20% empang dan 40% mangrove)
2. Pola 1 yang disempurnakan : ada dua pintu air, satu untuk air empang dan satu untuk mangrove, sehingga tidak terjadi komunikasi air mangrove dan empang, sehingga saat terjadi perubahan musim, kedua pintu dapat diatur (kapan dibuka dan ditutup).
3. Pola Komplangan ; Empang dan Mangrove dipisah tetapi air tetap dihubungkan dengan porsi 20 dan 80 persen. Investasi model ini lebih mahal dan hasilnya lebih sedikit. Karena itu pilih 2 sangat baik karena investasi murah dengan hasil yang baik.
Untuk daerah pertambakan jika daerah tidak ada mangrove maka digunakan fungsi sempadan (300 meter). Khusus di Jakarta ada dua masalah : sampah dan masyarkat komersial. Masalah masyarakat dengan pendekatan diskusi dengan masyarakat hingga masyarakat sadar bahwa daerah mereka perlu bakau. Untuk menahan ombak dibangun apo untuk memecah gelombang. Apo bersayap sehingga berfungsi juga sebagai grow-in. Dibelakang apo dibangun buis yang berisi bakau.