Saat ini, Menjelang pemilihan wakil rakyat untuk tingkat Kota ku dan di tingkat Propinsi Ku suasananya terasa aneh-aneh.
Maksudku, semakin banyak iklan - iklan dengan foto diri yang berbentuk banner dan baliho terpasang di sudut-sudut jalan raya. Sticker menempel dimana saja. Bendera berkibar kesana kemari, centang perentang dihajar musim hujan dan angin. Kalender berhamburan penuh dengan foto seseorang yang tak pernah kukenal. Bahkan ada pula yang terpasang gambarnya di kaca belakang mobil. Rata-rata foto diri itu terpasang lengkap dengan logo, warna partai dan nomor urut. Ada yang memasang semboyan, ada yang deklamasi, ada yang mohon restu dan ada yang minta dukungan.
Semuanya memasang tampilan terbaik. Semua pasang wajah ramah dan sopan seakan tanpa dosa. Seolah-olah tampang mereka ini sudah familiar di mata dan hati rakyat dan masyarakat kebanyakan.
Sebagian dari mereka ada yang bikin acara tebar pesona. Mulai dari bikin toko murah, berakrab-akrab ria, sampai yang mendadak rajin ikut rapat-rapat antar tetangga.
Tetapi sesungguhnya kalau secara teliti saja kita perhatikan. Ternyata tak satupun yang menyebut dirinya sebagai corong aspirasi rakyat. Tak seorangpun yang menyebut dirinya sebagai calon yang pantas menjadi wakil rakyat. Tidak ada yang memproklamirkan dirinya mampu membawa kehendak rakyat atau setidaknya berani menyebut dirinya sudah diusung oleh rakyat dari daerah tertentu dan karenanya berani maju, lalu pasang tampang disudut-sudut jalan.
Dalam upayanya menebar pesona, model propaganda yang paling getol digembar-gemborkan adalah rayuan dan bujukan yang ditujukan kepada semua mata yang terjebak kedalam slogan yang disaput cantiknya baliho untuk akhirnya mau mendukung sang calon.
Aku akhirnya tidak bisa membedakannya dengan penjual hiasan kaligrafi yang mengetuk ngetuk pintu-pintu rumah dan membujuk si tuan rumah agar mau membeli dagangannya.
Aku merasa hal itu nyaris seperti pengemis yang datang tanpa permisi kerumah lalu memasang wajah memelas meminta belas kasihan, yang seandainya kita menolak, berubahlah tampangnya menjadi ketus dan kurang ajar.
Tidakkah seharusnya orang-orang yang duduk di kursi terhormat itu adalah orang-orang yang DIMINTA oleh rakyat. Bukan orang-orang yang MEMINTA kepada rakyat?
Betapa terhormatnya mereka bila duduk dikursi terhormat karena diminta oleh rakyat.
Tetapi, sebaliknya, bila meminta-minta kepada rakyat, itu sama halnya dengan melamar pekerjaan. Melamar sebuah jabatan. Jabatan legislatif.
Dan, karena sebuah pekerjaan dengan jabatan Legislatif, maka selayaknya mereka harus mengurus Kartu Kuning ke Disnaker. Seperti halnya pekerjaan - pekerjaan lain.
Lalu, siapakah sesungguhnya mereka ini?
Calon Legislatif atau Calon Wakil Rakyat, seeeeeeeeh...........
Maksudku, semakin banyak iklan - iklan dengan foto diri yang berbentuk banner dan baliho terpasang di sudut-sudut jalan raya. Sticker menempel dimana saja. Bendera berkibar kesana kemari, centang perentang dihajar musim hujan dan angin. Kalender berhamburan penuh dengan foto seseorang yang tak pernah kukenal. Bahkan ada pula yang terpasang gambarnya di kaca belakang mobil. Rata-rata foto diri itu terpasang lengkap dengan logo, warna partai dan nomor urut. Ada yang memasang semboyan, ada yang deklamasi, ada yang mohon restu dan ada yang minta dukungan.
Semuanya memasang tampilan terbaik. Semua pasang wajah ramah dan sopan seakan tanpa dosa. Seolah-olah tampang mereka ini sudah familiar di mata dan hati rakyat dan masyarakat kebanyakan.
Sebagian dari mereka ada yang bikin acara tebar pesona. Mulai dari bikin toko murah, berakrab-akrab ria, sampai yang mendadak rajin ikut rapat-rapat antar tetangga.
Tetapi sesungguhnya kalau secara teliti saja kita perhatikan. Ternyata tak satupun yang menyebut dirinya sebagai corong aspirasi rakyat. Tak seorangpun yang menyebut dirinya sebagai calon yang pantas menjadi wakil rakyat. Tidak ada yang memproklamirkan dirinya mampu membawa kehendak rakyat atau setidaknya berani menyebut dirinya sudah diusung oleh rakyat dari daerah tertentu dan karenanya berani maju, lalu pasang tampang disudut-sudut jalan.
Dalam upayanya menebar pesona, model propaganda yang paling getol digembar-gemborkan adalah rayuan dan bujukan yang ditujukan kepada semua mata yang terjebak kedalam slogan yang disaput cantiknya baliho untuk akhirnya mau mendukung sang calon.
Aku akhirnya tidak bisa membedakannya dengan penjual hiasan kaligrafi yang mengetuk ngetuk pintu-pintu rumah dan membujuk si tuan rumah agar mau membeli dagangannya.
Aku merasa hal itu nyaris seperti pengemis yang datang tanpa permisi kerumah lalu memasang wajah memelas meminta belas kasihan, yang seandainya kita menolak, berubahlah tampangnya menjadi ketus dan kurang ajar.
Tidakkah seharusnya orang-orang yang duduk di kursi terhormat itu adalah orang-orang yang DIMINTA oleh rakyat. Bukan orang-orang yang MEMINTA kepada rakyat?
Betapa terhormatnya mereka bila duduk dikursi terhormat karena diminta oleh rakyat.
Tetapi, sebaliknya, bila meminta-minta kepada rakyat, itu sama halnya dengan melamar pekerjaan. Melamar sebuah jabatan. Jabatan legislatif.
Dan, karena sebuah pekerjaan dengan jabatan Legislatif, maka selayaknya mereka harus mengurus Kartu Kuning ke Disnaker. Seperti halnya pekerjaan - pekerjaan lain.
Lalu, siapakah sesungguhnya mereka ini?
Calon Legislatif atau Calon Wakil Rakyat, seeeeeeeeh...........
0 Comments: